Tadi malam, Tuan Setan curhat lagi, tentang banyak hal. Ia heran melihat banyak di antara kita, para manusia, yang memilih untuk “menyerah” dan “putus asa” menghadapi berbagai persoalan hidup yang mereka hidupi dan hidup yang ingin mereka hidup-hidupkan. Sebagian lain bahkan menjalani hidup dengan cara yang menurutnya sangat memalukan. “Belakangan ini para manusia menjadi semakin cengeng dan terlihat tolol!” Katanya kesal.
Ia berkali-kali mengurut dada, menggelengkan kepala, mencoba mengerti apa yang terjadi di sekelilingnya—ia tak mampu menyembunyikan rasa kesalnya. Rahangnya menguat, terdengar gigi-giginya gemeretak. Ia lalu mencontohkan seorang ayah yang tega membanting anaknya sendiri yang masih bayi sampai mati, seorang Ibu yang membawa serta dua anaknya bunur diri dengan membakar diri hidup-hidup, lelaki tambun yang mengakhiri hidupnya dengan terjun dari lantai delapan sebuah pusat perbelanjaan—semuanya karena persoalan ekonomi. Di sisi lain, mereka yang berkelimpahan harta lupa bagaimana caranya memaknai kemanusiaan; pejabat yang tega menghabisi uang rakyat, penegak hukum yang kian buta memaknai keadilan dan kebenaran. “Ini aneh!” Katanya. “Gue juga nggak gitu-gitu amat, bro!”
Ia membetulkan posisi duduknya. Tak lama berselang, ia bangkit menuju jendela. Menghela napas panjang. “Apa ini salahku? Seperti kata mereka.” Katanya lemas. “Rasanya, aku tak pernah secara spesifik meminta mereka berbuat sekeji dan sejahat itu. Mereka terlalu kreatif merespon godaanku, tafsir mereka terlalu liar atas apa saja yang kubisikan pada telinga mereka. Faktanya, aku hanya berkata, ‘Sahabat Super yang saya cintai, bangkitkan sisi negatifmu. Lalu lihat apa yang akan terjadi!’”
Sekali lagi, ia menggelengkan kepalanya. “Aku tak mengira efeknya separah ini!”
Saya bingung sendiri mendengarnya berkeluh kesah seperti ini. Lagi pula, benar juga apa yang dia bicarakan. Aku jadi ingat kata-kata sahabatku yang lain, Jalaluddin Rumi, “Manusia bisa lebih buruk daripada setan, juga bisa lebih baik melampaui malaikat.” Mungkin fenomena ini yang sekarang terjadi di sekeliling kita. Entah tanda-tanda apa ini. Mungkin kiamat memang kian dekat—atau kemanusiaan kita kian surut, lantas kita merasa biasa saja menyaksikan pembunuhan, melihat kejahatan, menatap ketidakadilan, melakukan kecurangan, kebohongan, penganiayaan, dan seterusnya.
“Sudahlah, Tuan Setan. Tak usah terlalu dipikirkan, yang penting kita tak melakukan itu.” Saya mencoba menenangkan.
Tiba-tiba, dia terlihat semakin marah. Wajahnya memerah, matanya membulat. Nyali saya tentu saja ciut melihatnya.
“Kau juga mulai sama saja!” Bentaknya. “Aku tak pernah membiarkan teman-teman sesama setan berbuat hal yang tak semestinya mereka perbuat. Kami selalu setia pada karma. Kami tak ingin membiarkan sebagian di antara kami menjadi ‘salah’ dan kami diam saja. Itu prinsip. Tertulis jelas dalam undang-undang dasar yang melandasi setiap langkah dan perbuatan kaum setan. Kebenaran dan keadilan yang kau yakini adalah harga mati bagimu untuk kaubela dan kaujunjung tinggi tanpa kompromi!”
Saya tertunduk malu. “Ya, ya, sejujurnya saya juga sedih melihat banyak orang di sekeliling saya kian binal saja. Mereka seolah kehilangan kemampuan untuk membedakan mana yang baik dan yang buruk, memilah mana keadilan dan pengkhianatan. Saya juga muak melihat keputusasaan yang menular, kepedulian yang memudar.”
“Baguslah kalau begitu.” Katanya.
Kami lantas berbincang soal banyak hal. Tuan Setan merasa sudah saatnya untuk pensiun dari tugasnya. “Manusia udah nggak asyik lagi.” Katanya. “Kalau semua sudah jahat dan keliru-keliru, lalu apalagi tugasku? Ini malah melebihi target yang diamanatkan undang-undang dasar setan.”
Hmmm… Barangkali benar, manusia sudah berada pada level yang jauh lebih buruk dari makna keburukan itu sendiri. Atau jangan-jangan, kita sudah tak mengerti batas antara kebaikan dan keburukan lantas melakukan apa saja hal-hal yang “melampaui batas”. Jauh sebelum hari ini, kita begitu kaget mendengar kabar seorang ayah yang membunuh anaknya sendiri. Tapi hari ini, kabar itu menjadi teman makan siang kita. Jauh sebelum hari ini, kita begitu bergidik melihat perselingkuhan seorang anak gadis dengan ayahnya sendiri, seorang ibu dengan anak lelakinya sendiri. Kini, semua itu biasa saja kita dengar. Oh, ada apa dengan kemanusiaan kita? Jauh sebelum hari ini, penguasa lalim, hakim yang berkhianat, pejabat yang bangsat, agamawan yang penipu, hanyalah bagian dari cerita dongeng yang membuat kita membenci mereka setengah mati. Kini, setiap hari kita bersitatap dengan mereka. Berbincang dengan mereka. Dan merasa biasa-biasa saja. Oh, ada apa dengan kemanusiaan kita?
“Bawakan gitar. Aku ingin bernyanyi.” Kata Tuan Setan menarikku dari lamunan.
***
I’ve been sittin’ here
Tryin’ to find myself
I get behind myself
I need to rewind myself
Lookin’ for the payback
Listen for the playback
They say that every man
Bleeds just like me
And I feel like number one
Yet I’m last in line
I watch my youngest son
And its help to pass the time
I take to my pills
Its helps to ease the pain
I made a couple of dollar
Bills still I feel the same
Ya, saya mengenal lagu itu. Only God Knows Why dari Kid Rock dalam album Devil Without a Cause. Lagu favorit Tuan Setan. Sejujurnya, ini agak aneh. Lagu itu biasanya dinyanyikan saat Tuan Setan sedang sangat sedih. Saat ia menyesali dirinya sendiri. Apakah kabar-kabar buruk yang berseliweran belakangan ini membuatnya benar-benar sedih dan gundah? Ya, ya, bisa saja. Saya juga terlampau sedih dan gundah mendengarnya.
Bahkan di saat-saat yang terburuk, seseorang yang kautuduh Si Tuan Keburukan ini, tak melakukan hal-hal yang terlalu buruk—ia tak memutuskan bunuh diri atau membunuh anaknya sendiri, bukan? Ia tak “menatap keluar” sebagai musabab kesalahan. Ia menatap dirinya sendiri dan mencoba memperbaiki semuanya. Ia tak menyerah dan takluk, ia mencoba untuk terus menerus bangkit, bersabar, dan bertahan—tiga sifat yang kita curigai tak pernah dimiliki setan atau orang-orang jahat.
Tuan Setan berhenti sejenak. Ia lupa meneruskan pada kunci apa kord-nya harus dilanjutkan. Saya tak berani menyela. Ia sedang serius. Tak lama kemudian ia bernyanyi lagi.
Everybody knows my name
They say it way out loud
A lot of folks f**k with me
It’s hard to hang out in crowds
I guess that’s the price you pay
To be some big shot like I am
Outstretched hands and one night stands
Still I can’t find love
And when your walls come tumbling down
I always be around
And when your walls come tumbling down
I always be around
People don’t know bout
the things I say and I do
They don’t understand about
The shit I’ve been trough
It’s been so long since
I’ve been home
I’ve been gone
I’ve been gone far way too long
Barangkali itulah salah satu alasan Tuan Setan melakukan hampir segala hal dalam sembunyi, ia sendiri sebenarnya malu atas apa yang pernah ia perbuat di masa lalu. Tapi kita? Kita seperti tak pernah mengerti makna rasa malu—berkali-kali berbuat kesalahan, kejahatan, kebohongan, kenistaan, pengkhinatan, perselingkuhan pun kita tak pernah memilih untuk sembunyi. Kita selalu “terlihat”. Cuek saja di hadapan banyak orang. Dan tak jarang kita merasa bangga atas kejahatan yang kita perbuat. Oh, ada apa dengan kemanusiaan kita?
Suara Tuan Setan tiba-tiba meninggi. Tapi terdengar kian serak dan bergetar.
Maybe I forgot all the things I’ve missed
Oh somehow I know there’s more to life than this
I said it too many times
And I still stand firm
You get what you put ini
And people get what they deserve
Ya, ya, ya. Diri kita sepenuhnya ditentukan oleh apa yang kita perbuat, dan setiap orang ditentukan sepenuhnya oleh apa saja yang mereka lakukan dalam hidup yang mereka hidupi dan hidup yang ingin mereka hidup-hidupkan. Itu saja soalnya. Beranikah kita mengambil jarak dari kejahatan-kejahatan, kebohongan-kebohongan, kesalahan-kesalahan, dan mulai melakukan apa saja yang benar, apa saja yang jujur. Sama sekali tak ada alasan untuk berkubang dalam kesalahan-kesalahan yang bodoh, sama sekali tak ada alasan untuk menyerah dalam lingkaran kebohongan dan pengkhianatan, sama sekali tidak. Sebab kitalah yang menentukan hidup kita sendiri, kitalah penguasa atas jiwa kita sendiri. Panjatlah tebing itu, lompatilah, jemputlah masa depan baru yang setia dan berpihak pada keadilan, kejujuran, dan kebaikan.
Still I ain’t seen mine
No I ain’t seen mine
I’ve been giving just ain’t gettin’
I’ve been walking that there line
So I think I’ll keep on walking
With my head held high
I’ll keep moving on and
Only God knows why
Biarlah Tuan Setan menjalankan tugasnya. Biarkanlah ia terus menggoda kita. Tapi, biarkan sampai di situ saja. Jangan sampai kita kehilangan kemanusiaan kita. Manusialah yang memiliki kemampuan dan kesempatan untuk memilih yang baik atau yang buruk, kebaikan atau kejahatan, kebohongan atau kejujuran, pengkhianatan atau kesetiaan. Setan bahkan malaikat tak punya pilihan-pilihan itu.
“Aku sudah tak memiliki kesempatan untuk menjadi baik.” Kata Tuan Setan di sela-sela nyanyiannya. “Only God, only God knows why… Only God knows why… Tapi aku ingin memberikan kesempatan pada manusia untuk meraih kebaikan paling sempurna, yakni ketika mereka mampu melampaui godaan dan ajakanku, mengabaikannya, dan menjemput kebaikan-kebaikan, kebenaran-kebenaran yang memang seharusnya mereka pilih. Itulah tugasku, menjaga gawang keburukan. Itulah tugasku, only God knows why… Aku ditugaskan untuk menyempurnakan nilai kebaikan. Berseberangan dengan-Nya adalah suatu kehormatan bagiku. Sebab hanya dengan begitu yang baik akan semakin terang benderang dan jelas untuk kalian pilih. Sekarang, semua terserah kalian.”
Saya menarik napas panjang dan menghembuskannya pelan-pelan. Ada yang bergetar dalam dada. Memang benar sepertinya. Tak ada alasan lagi untuk menunda memosisikan diri sebagai tuan bagi diri kita sendiri. Kitalah yang memilih melakukan kebenaran atau kejahatan, bukan siapapun. Oh, sudah saatnya kita menemukan kembali kemanusiaan kita. Bila kejahatan-kejahatan dan keburukan-keburukan yang selama ini ada di sekeliling kita adalah hasil akumulasi dari kejahatan-kejahatan dan keburukan-keburukan pribadi, sudah saatnya kita mengubahnya. Mulailah memilih segala yang baik dan yang benar dari diri kita sendiri, biarkan semua itu terus-menerus terakumulasi; lalu lihat apa yang akan terjadi!
Tuan Setan sudah menghilang tiba-tiba dari hadapan saya. Diam-diam saya ingin melakukan kebaikan pertama malam ini dengan berkata tulus padanya, “Terima kasih, Tuan Setan.” Dan kebaikan kedua? Saya menuliskan “curhat” ini buat kalian—semoga benar-benar menjadi kebaikan.
Fahd Djibran
Tidak ada komentar:
Posting Komentar